readbud

Jumat, 09 Maret 2012

makalah tentang Pertemuan antara Agama dan Budaya di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai berkenalanan dengan “tradisi” Islam, meskipun frekuensinya tidak terlalu besar. Pengenalan ini berlangsung sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa tempat di Asia Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim di Asia Tenggara adalah dua buah makam yang bertarikh sekitar abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga (kini Panrang, Viet Nam) dan di Leran (Gresik, Indonesia).
Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad ke-13 Masehi, yaitu dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada bulan Ramadhan 696 Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di Nusantara sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.
Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7 Masehi. Beberapa kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara sudah melakukan hubungan dagang dan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis yang mendukung ke arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat Cirebon. Di antara komoditi perdagangan yang asalnya dari Timur Tengah ditemukan indikator “keIslaman” yang berupa sebuah cetakan tangkup (mould) yang bertulisan asma‘ul husnah.
Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia menganut paham Sunni, namun pada prakteknya saat ini di Sumatra dan Jawa menganut paham Syi‘ah. Data arkeologis menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia melalui Gujarat, kemudian dibawa oleh para saudagar ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu.

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asliu; dan memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
B. Rumusan Masalah
•    Bagaimana implikasi masuknya Islam terhadap budaya di Indonesia?
•    Bagaimana proses terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara?

C. Tujuan Penulisan.
•    Mengetahui implikasi masuknya Islam terhadap perubahan budaya di Indonesia
•    Mengetahui proses terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara.






BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Agama merupakan sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau yang lainnya dengan suatu ajaran dengan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan agama tersebut. Agama bersifat mengikat umatnya atau pemeluknya dengan suatu keyakinan yang menuntut untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan dengan dasar-dasar tertentu.
Sedangkan budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari unsur yang rumit, seperti agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya juga bisa diartikan sebagai suatu pola hidup yang menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Indonesia merupakan negara dengan berbagai agama dan budaya yang masyarakatnya saling hidup berdampingan, atau biasa disebut negara plural dengan slogan bhineka tunggal ika. Fakta ini memungkinkan adanya suatu peleburan atau penyelarasan antara suatu agama dengan suatu budaya dalam masyarakat sehingga memunculkan kombinasi diantara keduanya. Agama yang berbumbu budaya dan atau sebaliknya, budaya yang berbumbu agama.
Mayoritas masyarakat di Indonesia adalah muslim atau beragama Islam, sehingga secara sadar atau tidak, hal ini telah melahirkan satu pandangan islami di kalangan masyarakat. Yang tentunya berdampak pada kebudayaan-kebudayaannya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Dan apa sebab-sebabnya? Berikut pembahasannya.




BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal.
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
2. Agama dan Budaya
Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat  adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.
Lebih tegas dikatakan Geertz, bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.
3. Agama dan budaya Indonesia
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu  terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen.
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenara dalam bentuk perpaduan antara Islam  dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau.
4. Pertemuan Islam dan Budaya Nusantara
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype  kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.
Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional. 
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.
5. Studi Kasus
Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat Indonesia. Dari zaman ketika kerajaan-kerajaan masih hadir menghidupi ruang sejarah negeri ini hingga era modern seperti kini, keragaman itu tetap ada, bahkan nampak semakin bertambah. Ketidaksamaan itu kini tidak lagi memonopoli perkotaan besar yang biasanya menjadi tempat bermuaranya berbagai macam budaya dan agama. Di setiap penjuru nusantara ini, telah diisi dengan berbagai rupa-rupa yang berbeda begitulah Indonesia perjalanan panjang sebagai sebuah bangsa yang majemuk, membekaskan sebuah citraan pada diri tubuh multikultur ini. Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan yang ada di dalamnya. Sebut saja misalnya budaya Islam Jawa.
Gerak hidup Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri disbanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meskipun hal ini tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu di antara yang lain. Bahkan Gertz seorang antropolog terkenal dunia sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah Islam di Jawa. Dengan sampling masyarakat Islam Mojokuto, Gertz berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri, abangan, dan priyayi. Meskipun banyak mendapat kritik, dalam beberapa hal saya piker Gertz memang benar. Bukankah studi antropologi memang tidak pernah menyatakan adanya objektifitas dalam hasil yang diperoleh. Yang kemungkinan bisa muncul adalah intersubjektifitas dari sebuah fenomena. Begitulah kiranya Gertz yang mampu membaca Islam Jawa dari sudut pandang yang tak tentu sama dengan kita, dan lagi-lagi itu membawa kebenarannya sendiri.
Keunikan Islam Jawa menurut tesis Gertz menurut saya terletak pada gerak spritualitas yang dilakukan oleh Golongan Abangan. Di akar budaya yang dimiliki oleh golongan ini, kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik unsure Islam maupun Jawa, terlihat ada saling mengerti. Gerusan-gerusan yang mungkin dapat dikatakan sebagai sinkretisme budaya ini berjalan pelan dan akhirnya menjadi sinergi. Contoh menarik adalah peringatan tahun baru 1429 hijriah beberapa waktu lalu di daerah Sragen, Jawa Tengah. Acara menarik itu dilakukan di komplek makam Pangeran Samudera. Seorang tokoh keramat bagi masyarakat setempat. Sejarah pasti budaya memohon berkah di tempat ini masih nampak kabur. Yang jelas budaya ini ada sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nuansa kedua unsure ini begitu kental, bercampur memunculkan satu tradisi baru yang tidak meninggalkan akar rumput yang dimilikinya.
Acara itu sendiri merupakan ritual pergantian selambu yang menyelubungi makam Pangeran Samudera. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap pergantian tahun baru Jawa maupun Islam yang memang diperingati berbarengan Pergantian selambu makam ini menjadi menarik karena serangkaian ceremonial yang ada di dalamnya. Setelah selambu menyelubungi makam selama setahun dibuka, acara dilanjutkan ke Waduk Kedung Ombo. Di waduk yang juga dianggap keramat ini, selambu tadi dicelupkan, satu lambing penyucian diri seperti halnya tubuh manusia yang perlu dibersihkan. Ketika selambu telah selesai dibasahi dengan air Waduk ini, kain inipun segera dibawa kembali ke komplek makam. Biasanya para warga yang mengharapkan berkah, segera berebut tetesan air selambu yang baru saja direndam tadi. Tetesan air itu biasanya digunakan untuk mengusap wajah atau bagian tubuh lainnya.
Ketika sampai kembali ke komplek makam, acara berikut dilanjutkan dengan ritual pembilasan. Air yang digunakan untuk membilas selambu ini, adalah air yang berasal dari tujuh mata air disekitar komplek makam Pangeran Samudera. Tujuh air ini ditempatkan di tujuh tong yang berbeda. Dan secara bergantian ketujuh tong tadi menjadi tempat pembilasan selambu. Acara diakhiri dengan do’a yang bernafaskan Islam, disinilah bentuk akulturasi itu muncul. Ritual semacam ini yang sebelum kedatangan Islam diisi dengan do’a-do’a Hindu atau Budha, setelah Islam dating diganti dengan do’a-do’a yang bersumber dari kitab suci Islam.






BAB IV
ANALISIS DAN KESIMPULAN
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul mesjid, surau, dan makam. System kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir kemudian menekuni pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan tata ruang baru, bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Caka dan Hijriah. Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cunggup makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti mesjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief candi. Demikian pula menara mesjid tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indnesia kala itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan Makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpr dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di jawa, juga dapat dilihat adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta pemukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan status sosial.
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang berbeda dalam waktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi percampuran unsure-unsur kedua kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula unsure-unsurnya masih dapat dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ada dalam kebudayaan induknya. Rupanya proses seperti diuraikan di atas berulang kali terjadi di Indonesia, termasuk ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha, Prasejarah, dan Islam (kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap. Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi. Factor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah bangunan mesjid. Akulturasi juga memicu kreativitas seniman, sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya belum pernah ada, juga way of life baru.
Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu dipikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan. Namun, tetap dengan cirri-ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.
Mungkin masih banyak lagi unsur kebudayaan lainnya yang belum terekam dalam kehidupan bangsa Indonesia yang mendapat pengaruh Persia. Semua ini memerlukan penelitian dari berbagai disiplin ilmu-ilmu humaniora dan sosial, seperti arkeologi dan sejarah, antropologi, sosiologi, agama, linguistik, dan kesusasteraan.
Ada satu hal yang patut kita syukuri dalam kehidupan beragama di Tanah Air Indonesia. Di Tanah Air umat Islam dari berbagai aliran dapat hidup rukun. Keadaan seperti ini sudah “tercipta” sejak masa awal kedatangan Islam di Nusantara. Para penyiar agama melakukan penyampaian dengan cara persuasif dan menyesuaikan dengan budaya setempat, misalnya Wali Sanga menyampaikan syiar Islam dengan cara menggunakan sarana wayang. Tidak ada sedikitpun unsur pemaksaan. Sementara itu di belahan dunia lain, kita lihat bagaimana Libanon, Irak, dan Afghanistan sampai hancur-hancuran sebagai akibat pertikaian sesama umat Islam yang mungkin disebabkan karena adu domba pihak lain.




DAFTAR PUSTAKA

•    Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, Yayasan Pembangunan: Jakarta
•    Koentjaraningrat, 1980, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, Penerbitan Universitas: Jakarta
•    Mulyono Sumardi, 1982, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta

makalah filsafat ilmu tentang Manusia sebagai Pemikir Irfani

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Epistemologi atau teori tentang ilmu menjadi perhatian utama para cendekiawan muslim dimasa silam. Mereka sepenuhnya menyadari tentang pentingnya mendefinisikan ilmu untuk mencari klarifikasi, mengidentifikai skop dan limitasinya, menjelaskan sumber-sumber,menerangkan metode-metodenya, serta mengklarifikasikannya kedalam berbagai disiplin, menjelaskan hierarki dan interelasinya. Berbagai upaya yang terus menerus dalam mengetengahkan eksposisi ilmu terinspirasi oleh keyakinan yang kuat terhadap doktrin ajaran islam yang paling fundamental, yaitu tauhid.
1.2.     Rumusan Masalah

1.    Apa pengertian Al-Irfani
2.    Apa sumber yang di gunakan dalam epistimologi irfani?
3.    Bagaimana perkembangan epistemologi Al-Irfani?
4.    Metode (proses dan prosedur) apa yang di gunakan dalm epistimologi irfan?
5.    Apa konsep dari metode irfani?

1.3.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian epistemologi Al-Irfani.
2.    Untuk mengetahui sumber yang di gunakan dalam epistimologi irfani.
3.    Untuk mengetahui perkembangan epistemologi Al-Irfani.
4.    Untuk mengetahui (proses dan prosedur) yang di gunakan dalam metode irfani.
5.    Untuk mengetahui konsep dari metode irfani.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Al-Irfani
Pengertian makna irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab merupakan bentuk dasar (masdar) dari kata arafa yang semakna dengan ma’rifat. Dimana objek pengalaman atau pengetahuan yang di peroleh langsung oleh objek pengetahuan. Pengetahuan irfani tidak di dasarkan atas teks seperti bayani tetapi pada tasauf, tersikapnya rahasia-raahasia dari tuhan, singkatnya pengertian irfani adalah model metodologi berfikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung(direct exprience) atas realitas spritual keagamaan.
Metode irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spritual keagamaan, berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik irfani adalah bagian esoteris(batin) teks, karena itu rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spritual tersebut.
Menurut sejarahnya, epistimologi ini telah ada baik di persia ataupun yunani jauh sebelumnya datangnya teks-teks keagamaan baik yahudi, kristen maupun islam. Sementara dalam tradisi (sufisme) islam, ia baru berkembang sekuitar abad ke 3H/9M dan abad 4H/10M, seiring dengan berkembangnya doktrin ma”rifah yang di yakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang tuhan. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara pengetahuan yanag di peroleh oleh indra (sense al-hisst) dan akal atau keduanya dengan pengetahuan yang di peroleh melalui kasyf (ketersingkapan) Ilham, iyan atau isyaraq. Di kalangan mereka irfan di mengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman inditiuitif akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang di ketahui,(ittihd al-arif wa al-ma”ruf)yang telah di anggap sebagai pengetahuan tinggi, sedangkan para ahli- al-irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai al-naql dan al- tauzif, dan upaya menyikap wacana qur’ani dan memperluas ibarahnya untuk memperbanyak makna, jadi pendekatan irfani adalah suatu pendekatan yang di pergunakan dalm kajian pemikiran islam oleh para mutasawwifun dan arfun untuk mengeluarakan makna batin lafz dan ibarah, dia juga merupakan istimbad al- ma’rifah, al-qalbiyah dari al-qur’an,diman pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin,qalb,wijban,basirah dan intuisi.
Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘raafa yang berarti pengetahuan. Tetapi irfani berbeda dengan ilmu. Irfan berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya rohani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love). Sasaran bidik irfani adalah aspek esoteric syariat.
2.2. Sumber Asal Irfani
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfani. Pertama menganggap bahwa irfan islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Dan pendiri aliran-aliran sufi berasal dari kelompok orang Majusi, seperti Ma’ruf Al-Kharki (w. 815 M) dan Bayazid Busthami (w.877 M).
Kedua,irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz,Goldziher,Nicholson,Asin Palacios dan O’lery. Alasanya,(1) Adanya interaksi antara orang-orang arab dan kaum nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman islam. (2) Adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa(riyadlah) dan mengasing diri(khalwat).
Ketiga, irfan ditimba dari India, seperti pendapat horten dan hortman. Alasanya, (1) kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf)pertama kali adalah khurasan. (2) kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan arab, seperti ibrahim ibn adham (w.782 M), al-balkh (w.810 M) dan yahya ibn muadz (w.871 M). (3) sebelum masa islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan timur serta barat. Mereka memberi warna mistissismelama ketika memeluk islam. (4) konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
Keempat, irfan beraal dari sumber-sumber yunani,khususnya neo-platonisme dan hermes, seperti disampaikan O’leary dan Nicholson. Alasannya, “theology aristoteles” merupakan paduan antara system porphyry dan proclus telah dikenal baik dalam filsafat islam. Namun ,menurut Dzun Al-Nun al-Misri (796-861 M),irfan diadopsi dari ajaran hermes, sedang pengambilan dari teks-teks Al-Qu’ran sebagai contoh, istilah maqamat yang secara Lafdz dan maknawi diambil dari Al-Qur’an (QS. Al-Fushilat 164).
Dengan demikian, irfan sesungguhnya berasal dari sumber islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya kemudian di pengaruhi oleh factor luar, yaitu yuinani, Kristen, hindu atau yang lain. Beberapa tokoh orientalis seperti Nicholson,Louis Mssignon,Spencer Trimingham juga menyatakan hal yang sama tentang sumber-sumber asal irfan atau sufisme islam.
2.3. Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
1.    fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini disebut irfan baru dalam bentuk laku zuhud (askestisme). Karakter askestisme periode ini adalah (1) berdasarkan ajaran al-quran dan sunnah, yakni m,enjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. (3) motifasi zuhudnya adalah rasa takut, yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
2.    fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriyah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufisme mulai berbicara terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali ri’ayat huquq Allah karya hasan basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang irfani. Laku askestisme juga berubah. Jika awalnya dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, ditangan Robiah Adawiyah (w.801 M), Zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah model prilaku irfan yang paling dini atau irfan periode awal.
3.    fase pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijruyah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokohsufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan intutif berikut sarana dan metodenya, tentang dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan manusia dengan-Nya. Dengan demikian dengan fase ini, irfan telah mengkaji soal moral, tingkah laku dan peningkatannya. Pengenalan intuitif langsung pada tuhan, kefanaan dalam realitas mutlak. Pencapaian kebahagiaan, kecenderungan umum fase ini masih pada psiko-moral, belum pada tingkat metafisis. Ide-ide metafisis yang belum terungkap secara jelas. Karena itu, Nicholson menyatakan dari segi teoritis dan praktis, kaum sufis fase ini telah merancang suatu system yang sempurna tentang irfan. Akan tetapi, karena bukan filosof, mereka sedikit menaruh perhatian terhadap problem-problem metafisika.
4.    fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada masa periode ini irfan mencapai masa gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan, antara lain sai abu khair (w.1048 M) yang menulis ruba’iyat, ibn utsman al- hujwiri (w.1077 M) menulis kasyf al-mahjub, dan Abdullah al-anshori (w.1088 M) menulis manazil al sa’irin, salah satu terpenting dalam irfan. Puncaknya al ghazali (w. 1111 M) menulis ihya’ ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani). Menurut Nicholson dan TJ. De Boer, ditangan al-ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaandalam tauhid dan kebahagiaa.
5.     Fase Spesikasi, terjadi abad ke-6 dan 7 H. Berkat pengaruh pribadi Al-Gazali yang besar, lrfani memjadi semakin dukenal dan berkembangan dalam masyarakat islam. Dengan demikian, pada fase ini, secara epistemologis, irfani telah terpecah (terspesifikasi) dalam dua aliran. (1) Irfan Sunni, menurut istilah taftazani, yang cenderung pada perilaku praktis(etika)dalam bentuk tarikat-tarikat,(2) Irfan Teoritis yang didomlnasi pemikiran filsafat. Disampingitu, dalam pandangan jabirin, ditambah aliran kebatinan yang didomlnasi aspek mistik. Meski demikian, menurut Mathahari, irfan praktis tetap tidak sama dengan etika dan irfan teoris berbeda dengan filsafat.
6.    Fase kemunduran, terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada pemberian komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lelih menekan bentuk ritus dan formalisme, yang mendoring mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri.

2.4. Metode Irfani
Pengetahuan irfani diperoleh dengan oleh ruhani, dimana dengan kesucian hati, Tuhan akan melimpah pengatahuan langsung kepadanya. Secara metodologis, pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan,(1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan baik secara lisan atau tulisan.
  Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang yang biasan disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah yang harus dilalui. Namun, setidaknya ada tujuh tahapan yang dijalani, yang semua ini berangkat dari tingkatan paliang dasar menuju pada tingkatan puncak.(1) Taubat meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang terpuji. Perilaku taubat ini sendiri terdiri atas beberapa tingkatan pertama, taubat dari perbuatan dosa dan makanan haram, kemudian taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan), dan puncaknya taubat dari klaim bahwa dirinya telah melakukan taubat. (2) Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya(subhat). Dalam tasawuf, wara’ ini terdiri atas dua tingkatan, yaitu lahir dan batin. Wara’ lahir berarti tidak melakukan sesuatu kecuali untuk beribadah kepada Tuhan, sedang wara’ batin adalah tidak memasukkan sesuatu apapun dalam hati kecuali Tuhan.(3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. Namun demikian, zuhud bukan berarti meninggalkan harta sama sekali. Menurut Al-Syibli seseorang tidak dianggap zuhud jika hal itu terjadi lantaran ia memang tidak mempunyai harta. Zuhud adalah bahwa hati tidak tersibukkan oleh sesuatu apapun kecuali Tuhan (meski disana ada banyak kekayaan). (4)Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa akan datang, dan tidak menghentikan sesuatu apapun kecuali Tuhan SWT, sehingga ia tidak terikat dengan apapun dan hati tidak menginginkan sesuatu apapun. Tingkat faqir merupakan realisasi dari upaya pensucian hati secara keseluruhan dari segala yang selain Tuhan (tathhir al-qalbi bi al-kulliyah ‘anma siwa Allah). (5) Sbar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela.Ini tahapan lebih lanjut setelah seseorang mencapai tingkat faqir. (6) Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan Tuhan. Tahap awal dari tawakkal adalah menyerahkan diri pada Tuhan laksana mayat dihadapan orang yang memandikan.. (7) Ridla, hilangnya rasa ketidak senagan dalam hati sehingga yang tersisa hanya genbira dan sukagita. Ini adalah puncak dari tawakkal.
Tahap kedua, tahap penerimaan. Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, karena bukan objek eksternal, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihad). Dalam persepektif epistemologis, pengetahuan irfani ini tidak diperoleh melalui representasi atau data-data indera apapun,bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam pembentukan gagasan umum pengetahuan ini.
Ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian pengetahuan irfani, dimana pengetahuan mistik diinterpresentasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan.
.2.5. Konsep Metode Irfani
Apabila dalam epistemologi bayani terdapat konsep lafadz dan makna, dalam irfani terdapat konsep dzahir dan bathin sebagai kerangka dasar atas pandangannya terhadap dunia (world view) dan cara memperlakukannya. Pola pikir yang pakai kalangan irfaniyun adalah berangkat dari yang bathin menuju yang dzahir, dari makna yang menuju lafadz. Bathin, bagi mereka merupakan sumber pengetahuan, karena bathin adalah hakekat, sementara dzahir teks (al-qur’an dan al-Hadist) sebagai perlindungan dan penyinar. Irfaniyyun berusaha menjadikan dzahir nash sebagai bathin.
Pola pikir seperti itu dikalangan irfaniyun telah banyak ditunjukkan al-jabiri. Al-Ghozali misalnya menegaskan bahwa makna yang dimiliki oleh al-qur’an adalah batinnya, bukan dzahirnya. Agar hakekat dapat disingkap, makna harus dijadikan asal, sedang lafadz mengikutinya. Demikian halnya al-Muhasibi, sebagaimana dikutib al-Jabiri, menjelaskan bahwa yang dzahir adalah bacaannya (tilawah) dan yang bathin adalah ta’wilnya. Ta’wil disini diartikan sebagai transportasi ungkapan dzahir ke bathin dengan berpedoman pada isyarat (petunjuk bathin). Apabila dalam ta’wil bayani memerlukan susunan bayan seperti wajh syibh (illat) ataupun adanya pertalian lafadz dan makna (qarinah lafdziyah an al-ma’nawiyyah) maka ta’wil irfani tidak memerlukan persyaratan dan perataraan. Takwil irfani tidak berpedoman padadzahir lafadz, tetapi justru mengalihkannya pada wilayah pengetahuan yang, menurut mereka, disebut dengan hakekat melalui isyarat. Dalam pola pikir seperti ini, pemahaman dihasilkan melalui al-iyan atau al- irfani, dan karenanya bersifat langsung.
Demikian, konsep dualisme dzohir dan batin dalam memahami teks tidak memiliki dimensi kemanusian. Bagi irfaniyyu, baik makna yang dzahir dan batin sama-sama berasal dari tuhan, yang dzahir adalah turunnya (tanzil) kitab dari tuhan melalui para nabinya, sedang yang batin adalah turunnya pemahaman (al-fahm) dari tuhan lewat kalbu sebagian kaum ini, dalam hal ini kaum irfaniyyun. Allah menciptakan segala sesuatu terdiri dari dzahir dan batin, termasuk menciptakan al-qur”an. Yang dzahir adalah bentuk yang dapat di indra (al-shurah al-hissiyah), sementara yang batin sesuatu yang bersifat ruhiyah. Dengan demikian firman tuhan secara batin sama dengan hukum yang terdapat pada dzahir yang terindra. Ruh(spirit) maknawi yang bersifat ketuhanan, yang hadir dalam bentuk teks yang dapat di indra inilah oleh ibn-arabi di sebut sebagai I’tibar al-bathin.








BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Epistemologi Al- Irfani yaitu pengetahuan, disini pengetahuan diperoleh melalui penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya(kasyf).
1.    Irfani berarti pengetahuan, dimana pengetahuan ini diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experiment) atas realitas spiritual keagamaan.
2.    Sumber asal irfani berasal dari sumber islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya diperoleh oleh faktor luar, yunani, kristen, hindu dan yang lainnya.
3.    Perkembangan Irfani, dibagi menjadi 5 fase:
a.    Fase pembibitan disebut irfan baru ada dalam bentuk laku zuhud (askestisme).
b.    Fase kelahiran: zuhid dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.
c.    Fase pertumbuhan: tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi moral keagamaan (akhlaq).
d.    Fase puncak: mencapai masa gemilang dan pada fase puncak ini banyak besar yang lahir dan menulis tentang irfan.
e.    Fase spesikasi: irfani terpecah dalam dua aliran yaitu, irfan sunni menurut istilah taftazani yang cendrung kepada prilaku praktis (etika), dalam bentuk tarikat-tarikat, dan irfan teoritis yang di dominasi pemikiran filsafat.
f.    Fase kemunduran: irfan tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan mengalami kemunduran.

4.    Metode irfani:
a.    Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang yang biasan disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual.
b.    Tahap kedua, tahap penerimaan. Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui
c.    Tahap ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian pengetahuan irfani, dimana pengetahuan mistik diinterpresentasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan.
5.    Dalam irfani di gunakan konsep dzahir dan batin.batin adalah hakikat dari sumber pengetahuan, sedangkan dzahir adalah teks (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai pelindungdan penyinar.

3.2    Saran
Dalam penulisan makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan sehingga masih membutuhkan pembenahan dan perbaikan. Kritik dan saran yang membangun dari pihak manapun sangat penting bagi kami, dan semoga bermanfaat bagi kami.







DAFTAR PUSTAKA

Kartanegara, Mulyadi. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogjakarta.
Khodorisoleh. 2004. Wacana Baru Fildafat Islam.Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Sumarna, Cecep. 2004. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
http://www.geocities.com/tarjikh/manhaj-tarjih/manhaj-pengembangan-pemikiran-islam.htm citarosa.

makalah tentang aplikasi statistika dalam dunia sepakbola

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG
Statistika merupakan bidang ilmu yang masih asing di kalangan masyarakat awam, karena memang statistika baru diajarkan pada tingkat SMP dan itupun masih ikut dalam matematika. Baru pada tingkat Universitas, statistika menjadi bidang keilmuan yang berdiri sendiri.
    Secara sederhana statistika adalah ilmu yang mempelajari tentang data-data serta cara untuk menganalisanya. Dan sekarang statistika sudah berkembang cukup pesat, hampir semua ilmu menggunakan atau menerapkan konsep-konsep statistika ini. Misalnya pada fisika; digunakan untuk mendapatkan nilai rata-rata dari beberapa kali percobaan, sosiologi; untuk menentukan pola persebaran penduduk dan laju pertumbuhan penduduk, ekonomi; untuk mengetahui berapa besar pendapatan perkapita suatu negara, dan masih banyak yang lainnya.
    Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari statistika juga banyak digunakan oleh masyarakat baik secara sadar maupun tidak. Pedagang mengatakan, “sehari saya biasanya mendapat sekitar Rp. 50.000,-“, sadar atau tidak pedagang tersebut telah menggunakan konsep statistika yaitu mean atau rata-rata. Petani juga demikian, mengatakan bahwa hasil panennya pada tahun ini meningkat daripada tahun lalu, dan lain sebagainya.
    Begitupun dalam sepakbola, statistika juga banyak digunakan karena sepakbola tidak terlepas dari data-data. Misalnya jumlah kemenangan, gol, tendangan ke gawang, penguasaan bola, dan lain-lain. Manfaat statistika dalam bidang sepakbola juga sangat banyak.
    Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang aplikasi atau penggunaan statistika dalam sepakbola.

1.2    TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini antara lain adalah untuk mengetahui:
1.    Pengertian statistika
2.    Hubungan statistika dengan sepakbola
3.    Manfaat statistika dalam sepakbola

1.3 RUMUSAN MASALAH
Adapun  masalah-masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini adalah:
1.    Apa pengertian statistika?
2.    Bagaimana hubungan statistika dengan sepakbola?
3.    Apa manfaat statistika dalam sepakbola?












BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN STATISTIKA
2.1.1 Pengertian
    Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Singkatnya, statistika adalah ilmu yang berkenaan dengan data. Istilah 'statistika' (bahasa Inggris: statistics) berbeda dengan 'statistik' (statistic). Statistika merupakan ilmu yang berkenaan dengan data, sedang statistik adalah data, informasi, atau hasil penerapan algoritma statistika pada suatu data. Dari kumpulan data, statistika dapat digunakan untuk menyimpulkan atau mendeskripsikan data; ini dinamakan statistika deskriptif. Sebagian besar konsep dasar statistika mengasumsikan teori probabilitas. Beberapa istilah statistika antara lain: populasi, sampel, unit sampel, dan probabilitas
    Statistika ialah ilmu tentang pengolahan dan analisis suatu data hingga penarikan kesimpulan dari data itu. Sedangkan statistik adalah hasil dari penganalisisan data . Misalnya seorang guru mempunyai data nilai hasil ujian murid-muridnya. Dari data tersebut diketahui atau ditentukan apakah hasilnya bagus atau tidak dengan mengolah dan menganalisis data yang ada, kemudian hasil akhirnya dapat ditarik sebuah kesimpulan dari data-data tersebut.
    Statistik adalah kumpulan keterangan yang disusun atau disajikan dalam daftar atau gambaryang melukiskan atau menggambarkan sesuatu. Statistik sangat berhubungan dengan sampel dan populasi. Dalam setiap pengukuran atau perhitungan, populasi merupakan satu kesatuan. Hal ini disebabkan oleh seluruh unit yang menjadi obyek merupakan populasi. Sedangkan  yang menjadi sampel bisa berbeda-beda, karena sampel diambil dari sebagian unit yang menjadi obyek
2.1.2 Sejarah Statistika
    Penggunaan istilah statistika berakar dari istilah istilah dalam bahasa latin modern statisticum collegium ("dewan negara") dan bahasa Italia statista ("negarawan" atau "politikus").
Gottfried Achenwall (1749) menggunakan Statistik dalam bahasa Jerman untuk pertama kalinya sebagai nama bagi kegiatan analisis data kenegaraan, dengan mengartikannya sebagai "ilmu tentang negara (state)". Pada awal abad ke-19 telah terjadi pergeseran arti menjadi "ilmu mengenai pengumpulan dan klasifikasi data". Sir John Sinclair memperkenalkan nama (Statistics) dan pengertian ini ke dalam bahasa Inggris. Jadi, statistika secara prinsip mula-mula hanya mengurus data yang dipakai lembaga-lembaga administratif dan pemerintahan. Pengumpulan data terus berlanjut, khususnya melalui sensus yang dilakukan secara teratur untuk memberi informasi kependudukan yang berubah setiap saat.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 statistika mulai banyak menggunakan bidang-bidang dalam matematika, terutama peluang. Cabang statistika yang pada saat ini sangat luas digunakan untuk mendukung metode ilmiah, statistika inferensi, dikembangkan pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20 oleh Ronald Fisher (peletak dasar statistika inferensi), Karl Pearson (metode regresi linear), dan William Sealey Gosset (meneliti problem sampel berukuran kecil). Penggunaan statistika pada masa sekarang dapat dikatakan telah menyentuh semua bidang ilmu pengetahuan, mulai dari astronomi hingga linguistika. Bidang-bidang ekonomi, biologi dan cabang-cabang terapannya, serta psikologi banyak dipengaruhi oleh statistika dalam metodologinya. Akibatnya lahirlah ilmu-ilmu gabungan seperti ekonometrika, biometrika (atau biostatistika), dan psikometrika.
Meskipun ada pihak yang menganggap statistika sebagai cabang dari matematika, tetapi sebagian pihak lainnya menganggap statistika sebagai bidang yang banyak terkait dengan matematika melihat dari sejarah dan aplikasinya. Di Indonesia, kajian statistika sebagian besar masuk dalam fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, baik di dalam departemen tersendiri maupun tergabung dengan matematika
2.1.3 Konsep Dasar Statistika
    Dalam mengaplikasikan statistika terhadap permasalahan sains, industri, atau sosial, pertama-tama dimulai dari mempelajari populasi. Makna populasi dalam statistika dapat berarti populasi benda hidup, benda mati, ataupun benda abstrak. Populasi juga dapat berupa pengukuran sebuah proses dalam waktu yang berbeda-beda, yakni dikenal dengan istilah deret waktu.
Melakukan pendataan (pengumpulan data) seluruh populasi dinamakan sensus. Sebuah sensus tentu memerlukan waktu dan biaya yang tinggi. Untuk itu, dalam statistika seringkali dilakukan pengambilan sampel (sampling), yakni sebagian kecil dari populasi, yang dapat mewakili seluruh populasi. Analisis data dari sampel nantinya digunakan untuk menggeneralisasi seluruh populasi.
Jika sampel yang diambil cukup representatif, inferensial (pengambilan keputusan) dan simpulan yang dibuat dari sampel dapat digunakan untuk menggambarkan populasi secara keseluruhan. Metode statistika tentang bagaimana cara mengambil sampel yang tepat dinamakan teknik sampling.
Analisis statistik banyak menggunakan probabilitas sebagai konsep dasarnya hal terlihat banyak digunakannya uji statistika yang mengambil dasar pada sebaran peluang. Sedangkan matematika statistika merupakan cabang dari matematika terapan yang menggunakan teori probabilitas dan analisis matematika untuk mendapatkan dasar-dasar teori statistika.
Ada dua macam statistika, yaitu statistika deskriptif dan statistika inferensial. Statistika deskriptif berkenaan dengan deskripsi data, misalnya dari menghitung rata-rata dan varians dari data mentah; mendeksripsikan menggunakan tabel-tabel atau grafik sehingga data mentah lebih mudah “dibaca” dan lebih bermakna. Sedangkan statistika inferensial lebih dari itu, misalnya melakukan pengujian hipotesis, melakukan prediksi observasi masa depan, atau membuat model regresi
Statistika deskriptif adalah cara-cara merangkum sejumlah besar informasi kuantitatif (numerik). Jika anda punya banyak pengukuran, hal terbaik yang bisa anda lakukan adalah membuat sebuah grafik atau gambaran-gambaran lainnya agar lebih mudah dibaca dan dipahami.
Statistika inferensial berkenaan dengan permodelan data dan melakukan pengambilan keputusan berdasarkan analisis data, misalnya melakukan pengujian hipotesis, melakukan estimasi pengamatan masa mendatang (estimasi atau prediksi), membuat permodelan hubungan (korelasi, regresi, ANOVA, deret waktu), dan sebagainya
2.2 Hubungan Statistika dalam Sepakbola
    Sepakbola merupakan olahraga yang paling disukai di seluruh dunia. Setiap pertandingan bahkan seperti telah menjadi candu yang luar biasa hebat. Permainan antara 22 pemain yang terbagi dalam 2 tim ini selalu menyuguhkan atraksi-atraksi yang enak ditonton dengan terciptanya gol-gol indah. Tapi apa hubungannya antara sepakbola dengan statistika?
    Dalam sebuah pertandingan sepakbola, pasti menghasilkan data-data yang berkaitan dengan pertandingan tersebut. Misalnya jumlah gol, tendangan ke gawang, pelanggaran, dan lain sebagainya yang menjadi representasi dari pertandingan tersebut. Dan itulah yang tercantum dalam statistik sebuah pertandingan. Sehingga orang yang tidak menonton dapat mengetahui jalannya pertandingan melalui statistik tersebut.
    Berikut adalah contoh statistik pertandingan sepak bola:
Manchester City    vs    Manchester United
0    Score    1
4 (1)    Shoot (On target)    7 (3)
0    Penalty    0
2    Freekicks    1
0    Corner kicks    4
1 (0)    Fouls (Offside)    2 (1)
0    Yellow card    0
0    Red card    0
44    Possession    56
    Setelah melihat statistik tersebut dapat diketahui melalui analisa sederhana bahwa yang memegang kendali permainan adalah Manchester United (MU), mereka unggul dengan 56 persen ball possession, dengan keunggulan penguasaan bola tersebut MU lebih leluasa untuk melakukan tendangan ke gawang sehingga jumlah tendangan yang mereka lakukan lebih banyak daripada Manchester City. Dengan demikian peluang mereka untuk mencetak gol lebih besar. Dan hasilnya adalah mereka menang atas Manchester City
    Tidak hanya itu, performa pemain juga bisa diketahui dari statistik. Lionel Messi yang merupakan pemain terbaik dunia tahun 2011 adalah pencetak gol terbanyak di Barcelona. Rasio golnya mencapai 1,5 di setiap pertandingan. Atau dengan kata lain, dari 2 pertandingan Messi mampu mencetak 3 gol. Jelas raihan yang sangat luar biasa. Namun sebaliknya, Fernando Torres hanya mampu mencetak 2 gol saja dari sekitar 30 laga yang dimainkannya. Ini berarti rasio golnya sangat kecil, hanya berkisar 0,07 di setiap pertandingan.
    Tren menggunakan pendekatan ilmiah dalam sepak bola bukan barang baru. Pada medio 1970-an, pelatih legendaris Ukraina, Valeriy Lobanovskiy diketahui berkolaborasi dengan para ilmuwan Sovyet untuk merumuskan bagaimana strategi dan mencari pemain yang kompeten. Di era modern, Arsene Wenger adalah salah satu pionir dari metode ini dan bukan tanpa sebab ia dipanggil profesor. Metode statistika inilah yang digunakan oleh Arsene Wenger dalam mencari pemain, ia melihat pada statistika pemain tersebut. Ia adalah salah satu pionir dari metode ini dan bukan tanpa sebab ia dipanggil profesor.
    Wenger mempelajari dengan benar statistik permainan pemain muda bernama Patrick Vieira di AC Milan dan saat ia disia-siakan di Italia, tanpa ragu Wenger memboyongnya ke London. Begitu juga dengan Thierry Henry yang terpaku di Juventus. Henry awalnya ragu ia bisa menjadi striker tapi analisa Wenger menunjukkan bahwa Henry bisa lebih berguna sebagai ujung tombak dibandingkan sekadar sayap.
Saat Wenger hendak mencari pelapis Vieira, ia membaca laporan analisa jarak lari semua pemain di liga-liga Eropa dan ia menemukan bahwa ada gelandang muda Marseille bernama Mathieu Flamini yang berlari 14 km tiap pertandingan.
Satu hal yang penting dalam membaca statistik sepak bola adalah angka tersebut harus kontekstual. Wenger tak langsung membeli Flamini berdasarkan jarak tempuh Flamini yang sensasional itu, tapi ia juga harus melihat apakah Flamini berlari ke arah yang benar dan bisakah ia memegang bola
     Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara statistika dan sepakbola yang sangat berkaitan diantara keduanya.



2.3 Manfaat Statistika dalam Sepakbola
    Setelah diketahui bahwa antara statistika dan sepakbola memiliki hubungan, maka dari hubungan tersebut dalam diambil manfaat atau kegunaan. Adanya statistika dalam sepakbola ini mempunyai peranan yang cukup penting, baik bagi pemain, pelatih, club, sponsor maupun penikmat sepakbola dari kalangan umum.
    Bagi pemain, statistika membantu untuk menentukan dan memilih club. Biasanya pemain memilih club yang mempunyai prestasi yang cukup bagus. Berapa kali club tersebut juara, kompetisi apa yang pernah dimenangi, berapa pendapatan club tersebut, serta bagaimana perkembangan club tersebut dalam kurun beberapa waktu terkhir adalah beberapa acuan yang digunakan oleh pemain untuk memilih club. Dan sebaliknya, suatu club juga menggunakan acuan-acuan untuk memilih dan membeli pemain dengan cara melihat bagaimana statistik pemain tersebut dalam acuan-acuan yang telah ditentukan.
    Namun manfaat yang paling besar adalah bagi pelatih. Selain berguna untuk meningkatkan kompetensi tim, statistika juga digunakan oleh para pelatih untuk melihat kekuatan calon lawan. Dengan begitu diharapkan tim yang diasuhnya mampu meraih kemenangan. Bukan hanya pada saat sebelum pertandingan saja, tetapi juga pada saat pertandingan. Pelatih memperhatikan bagaimana jalannya pertandingan yang sedang berlangsung, lalu memberikan instruksi kepada pemainnya apa yang harus dilakukan, tentunya dengan membaca statistik pertandingan tersebut. Dan pada saat pertandingan usai, statistika menjadi sarana yang tepat untuk mengadakan evaluasi tim, agar tim itu menjadi lebih baik pada pertandingan-pertandingan selanjutnya
    Bahkan dewasa ini, ada suatu lembaga khusus yang mencatat seluruh data tentang sepakbola, yang tentunya sangat berguna bagi para pelatih. Fantasista Football adalah solusi inovatif untuk kebutuhan statistik sepakbola. Dengan Fantasista Football, semua kebutuhan statistik, mulai dari pemain, tim, hingga kompetisi dalam sebuah pertandingan maupun secara keseluruhan dapat dicatat dan ditampilkan sesuai kebutuhan.
Fantasista Football terdiri dari tiga bagian utama yang akan membantu Anda dalam pencatatan, pengelolaan, dan analisis statistik sepakbola; Database Management, Match Recorder, dan Benchmark & Analyzer.
Database Management merupakan bagian dari Fantasista Football yang didesain untuk kemudahan Anda dalam memasukan dan mengelola data-data dasar yang berhubungan dengan tim Anda. Dengan memasukan data melalui Database Management, Anda telah bersiap untuk merekam dan menganalisis tim Anda dan lawan Anda.
Dengan Database Management Fantasista Football, Anda tidak perlu lagi untuk  bersusah payah  mengetahui data tentang pemain, tim, kompetisi, wasit, pelatih Anda, lawan, ataupun tim manapun yang ingin Anda ketahui. Database Management menyimpan kebutuhan data tersebut secara aman di server online sehingga kecil kemungkinan terjadinya kehilangan data yang dibutuhkan.
Match Recorder adalah bagian vital pada Fantasista Football untuk mencatat dan merekam sebuah pertandingan sepakbola. Dengan merekam pertandingan sepakbola dan mencatat statistiknya, Anda mendapatkan gambaran saat pertandingan bagaimana performa tim Anda di kedua babak. Selain itu, pasca pertandingan data yang didapat akan dikumpulkan dan menjadi sebuah akumulasi yang dapat menjadi dasar pengambilan keputusan pelatih terhadap tim Anda. Dengan kemudahan operasionalnya, Match Recorder Fantasista Football hanya memerlukan 1 orang untuk dapat mencatat dan merekam statistik pertandingan Anda. Statistik yang Anda dapatkan adalah gambaran nyata hasil pencatatan di lapangan sehingga Anda dapat melihat dengan nyata dan akurat sejauh mana tim Anda bermain.
Analyzer & Benchmark adalah asisten personal Anda dalam mengambil keputusan. Pemain mana yang performanya menurun? Apakah sebenarnya pemain Anda efektif dalam melakukan serangan? Pemain lawan mana yang benar-benar berbahaya dalam pertandingan nanti? Pertanyaan-pertanyaaan tersebut dapat Anda jawab dengan menggunakan Analyzer & Benchmark Fantasista Football. Performa tim Anda pun akan meningkat dengan keunggulan data dan informasi yang anda miliki. Dan dengan kemudahannya, Anda dapat mencari tahu apa yang Anda inginkan dengan cepat dari tim dan juga lawan Anda
Jelas sudah begitu banyak manfaat dari statistika dalam sepakbola. Para penggemar sepak bola awam dan mereka yang berpandangan konvensional akan beranggapan bahwa segala angka dan statistik ini hanya coret-coretan di atas kertas belaka, dan bahwa sepak bola yang sebenarnya adalah permainan yang dilakukan di atas lapangan hijau, bukan di tempat lain. Betul bahwa apa yang menentukan adalah permainan di lapangan, tapi data dan statistik membantu kita untuk mengerti dan menilai bagaimana performa sebuah tim saat bermain.













BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
    Dari beberapa ulasan dan pembahasan sebelumnya, dapat simpulkan bahwa :
1.    Statistika adalah ilmu tentang pengolahan dan analisis data yang di dalamnya kita bisa menginterpretasi dan mempresentasikan data tersebut untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan dari data tersebut. Sebagian besar konsep dasar statistika berkaitan dengan teori probabilitas atau teori kemungkinan.
2.    Statistika dan sepakbola memiliki hubungan yang sangat erat. Sepakbola memunculkan data-data melalui sebuah pertandingan kemudian data tersebut diolah dengan statistika dan hasilnya dikembalikan lagi ke sepakbola sehingga memunculkan suatu siklus yang berkaitan.
3.    Dari hubungan yang telah ada, maka akan memunculkan suatu manfaat yang bisa diambil dari penggunaan statistika dalam sepakbola. Baik itu untuk pemain, pelatih, club, sponsor maupun penikmat sepakbola dari kalangan umum.







DAFTAR PUSTAKA
Boeree, C. George.2008.General Psychology.Yogyakarta:Prismasophie. Diterjemahkan oleh Helmi J. Fauzi.
Koestono, Adi.1997.Taktik Sepakbola.Bandung: Pena Jaya.
Raharjo, Marsudi.2003.Makalah Statistika.PPG Matematika Yogyakarta.
www.beritasatu.com/
www.fantasista.com/
www.id.wikipedia.org/

Rabu, 15 Februari 2012

free download ultrasurf

UltraSurf
Bagi yang punya masalah dengan browsing, dan memerlukan potensi ekstra untuk browsing, pastikan anda memiliki ultrasurf.

Ketika anda ingin masuk ke suatu alamat tertentu namun wifi yang anda gunakan memblokir alamat tersebut, maka gunakan ultrasurf agar browsing anda tetap lancar.

untuk download klik di sini