readbud

Jumat, 09 Maret 2012

makalah filsafat ilmu tentang Manusia sebagai Pemikir Irfani

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Epistemologi atau teori tentang ilmu menjadi perhatian utama para cendekiawan muslim dimasa silam. Mereka sepenuhnya menyadari tentang pentingnya mendefinisikan ilmu untuk mencari klarifikasi, mengidentifikai skop dan limitasinya, menjelaskan sumber-sumber,menerangkan metode-metodenya, serta mengklarifikasikannya kedalam berbagai disiplin, menjelaskan hierarki dan interelasinya. Berbagai upaya yang terus menerus dalam mengetengahkan eksposisi ilmu terinspirasi oleh keyakinan yang kuat terhadap doktrin ajaran islam yang paling fundamental, yaitu tauhid.
1.2.     Rumusan Masalah

1.    Apa pengertian Al-Irfani
2.    Apa sumber yang di gunakan dalam epistimologi irfani?
3.    Bagaimana perkembangan epistemologi Al-Irfani?
4.    Metode (proses dan prosedur) apa yang di gunakan dalm epistimologi irfan?
5.    Apa konsep dari metode irfani?

1.3.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian epistemologi Al-Irfani.
2.    Untuk mengetahui sumber yang di gunakan dalam epistimologi irfani.
3.    Untuk mengetahui perkembangan epistemologi Al-Irfani.
4.    Untuk mengetahui (proses dan prosedur) yang di gunakan dalam metode irfani.
5.    Untuk mengetahui konsep dari metode irfani.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Al-Irfani
Pengertian makna irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab merupakan bentuk dasar (masdar) dari kata arafa yang semakna dengan ma’rifat. Dimana objek pengalaman atau pengetahuan yang di peroleh langsung oleh objek pengetahuan. Pengetahuan irfani tidak di dasarkan atas teks seperti bayani tetapi pada tasauf, tersikapnya rahasia-raahasia dari tuhan, singkatnya pengertian irfani adalah model metodologi berfikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung(direct exprience) atas realitas spritual keagamaan.
Metode irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spritual keagamaan, berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik irfani adalah bagian esoteris(batin) teks, karena itu rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spritual tersebut.
Menurut sejarahnya, epistimologi ini telah ada baik di persia ataupun yunani jauh sebelumnya datangnya teks-teks keagamaan baik yahudi, kristen maupun islam. Sementara dalam tradisi (sufisme) islam, ia baru berkembang sekuitar abad ke 3H/9M dan abad 4H/10M, seiring dengan berkembangnya doktrin ma”rifah yang di yakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang tuhan. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara pengetahuan yanag di peroleh oleh indra (sense al-hisst) dan akal atau keduanya dengan pengetahuan yang di peroleh melalui kasyf (ketersingkapan) Ilham, iyan atau isyaraq. Di kalangan mereka irfan di mengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman inditiuitif akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang di ketahui,(ittihd al-arif wa al-ma”ruf)yang telah di anggap sebagai pengetahuan tinggi, sedangkan para ahli- al-irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai al-naql dan al- tauzif, dan upaya menyikap wacana qur’ani dan memperluas ibarahnya untuk memperbanyak makna, jadi pendekatan irfani adalah suatu pendekatan yang di pergunakan dalm kajian pemikiran islam oleh para mutasawwifun dan arfun untuk mengeluarakan makna batin lafz dan ibarah, dia juga merupakan istimbad al- ma’rifah, al-qalbiyah dari al-qur’an,diman pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin,qalb,wijban,basirah dan intuisi.
Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘raafa yang berarti pengetahuan. Tetapi irfani berbeda dengan ilmu. Irfan berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya rohani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love). Sasaran bidik irfani adalah aspek esoteric syariat.
2.2. Sumber Asal Irfani
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfani. Pertama menganggap bahwa irfan islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Dan pendiri aliran-aliran sufi berasal dari kelompok orang Majusi, seperti Ma’ruf Al-Kharki (w. 815 M) dan Bayazid Busthami (w.877 M).
Kedua,irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz,Goldziher,Nicholson,Asin Palacios dan O’lery. Alasanya,(1) Adanya interaksi antara orang-orang arab dan kaum nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman islam. (2) Adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa(riyadlah) dan mengasing diri(khalwat).
Ketiga, irfan ditimba dari India, seperti pendapat horten dan hortman. Alasanya, (1) kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf)pertama kali adalah khurasan. (2) kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan arab, seperti ibrahim ibn adham (w.782 M), al-balkh (w.810 M) dan yahya ibn muadz (w.871 M). (3) sebelum masa islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan timur serta barat. Mereka memberi warna mistissismelama ketika memeluk islam. (4) konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
Keempat, irfan beraal dari sumber-sumber yunani,khususnya neo-platonisme dan hermes, seperti disampaikan O’leary dan Nicholson. Alasannya, “theology aristoteles” merupakan paduan antara system porphyry dan proclus telah dikenal baik dalam filsafat islam. Namun ,menurut Dzun Al-Nun al-Misri (796-861 M),irfan diadopsi dari ajaran hermes, sedang pengambilan dari teks-teks Al-Qu’ran sebagai contoh, istilah maqamat yang secara Lafdz dan maknawi diambil dari Al-Qur’an (QS. Al-Fushilat 164).
Dengan demikian, irfan sesungguhnya berasal dari sumber islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya kemudian di pengaruhi oleh factor luar, yaitu yuinani, Kristen, hindu atau yang lain. Beberapa tokoh orientalis seperti Nicholson,Louis Mssignon,Spencer Trimingham juga menyatakan hal yang sama tentang sumber-sumber asal irfan atau sufisme islam.
2.3. Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
1.    fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini disebut irfan baru dalam bentuk laku zuhud (askestisme). Karakter askestisme periode ini adalah (1) berdasarkan ajaran al-quran dan sunnah, yakni m,enjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. (3) motifasi zuhudnya adalah rasa takut, yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
2.    fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriyah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufisme mulai berbicara terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali ri’ayat huquq Allah karya hasan basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang irfani. Laku askestisme juga berubah. Jika awalnya dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, ditangan Robiah Adawiyah (w.801 M), Zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah model prilaku irfan yang paling dini atau irfan periode awal.
3.    fase pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijruyah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokohsufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan intutif berikut sarana dan metodenya, tentang dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan manusia dengan-Nya. Dengan demikian dengan fase ini, irfan telah mengkaji soal moral, tingkah laku dan peningkatannya. Pengenalan intuitif langsung pada tuhan, kefanaan dalam realitas mutlak. Pencapaian kebahagiaan, kecenderungan umum fase ini masih pada psiko-moral, belum pada tingkat metafisis. Ide-ide metafisis yang belum terungkap secara jelas. Karena itu, Nicholson menyatakan dari segi teoritis dan praktis, kaum sufis fase ini telah merancang suatu system yang sempurna tentang irfan. Akan tetapi, karena bukan filosof, mereka sedikit menaruh perhatian terhadap problem-problem metafisika.
4.    fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada masa periode ini irfan mencapai masa gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan, antara lain sai abu khair (w.1048 M) yang menulis ruba’iyat, ibn utsman al- hujwiri (w.1077 M) menulis kasyf al-mahjub, dan Abdullah al-anshori (w.1088 M) menulis manazil al sa’irin, salah satu terpenting dalam irfan. Puncaknya al ghazali (w. 1111 M) menulis ihya’ ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani). Menurut Nicholson dan TJ. De Boer, ditangan al-ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaandalam tauhid dan kebahagiaa.
5.     Fase Spesikasi, terjadi abad ke-6 dan 7 H. Berkat pengaruh pribadi Al-Gazali yang besar, lrfani memjadi semakin dukenal dan berkembangan dalam masyarakat islam. Dengan demikian, pada fase ini, secara epistemologis, irfani telah terpecah (terspesifikasi) dalam dua aliran. (1) Irfan Sunni, menurut istilah taftazani, yang cenderung pada perilaku praktis(etika)dalam bentuk tarikat-tarikat,(2) Irfan Teoritis yang didomlnasi pemikiran filsafat. Disampingitu, dalam pandangan jabirin, ditambah aliran kebatinan yang didomlnasi aspek mistik. Meski demikian, menurut Mathahari, irfan praktis tetap tidak sama dengan etika dan irfan teoris berbeda dengan filsafat.
6.    Fase kemunduran, terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada pemberian komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lelih menekan bentuk ritus dan formalisme, yang mendoring mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri.

2.4. Metode Irfani
Pengetahuan irfani diperoleh dengan oleh ruhani, dimana dengan kesucian hati, Tuhan akan melimpah pengatahuan langsung kepadanya. Secara metodologis, pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan,(1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan baik secara lisan atau tulisan.
  Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang yang biasan disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah yang harus dilalui. Namun, setidaknya ada tujuh tahapan yang dijalani, yang semua ini berangkat dari tingkatan paliang dasar menuju pada tingkatan puncak.(1) Taubat meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang terpuji. Perilaku taubat ini sendiri terdiri atas beberapa tingkatan pertama, taubat dari perbuatan dosa dan makanan haram, kemudian taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan), dan puncaknya taubat dari klaim bahwa dirinya telah melakukan taubat. (2) Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya(subhat). Dalam tasawuf, wara’ ini terdiri atas dua tingkatan, yaitu lahir dan batin. Wara’ lahir berarti tidak melakukan sesuatu kecuali untuk beribadah kepada Tuhan, sedang wara’ batin adalah tidak memasukkan sesuatu apapun dalam hati kecuali Tuhan.(3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. Namun demikian, zuhud bukan berarti meninggalkan harta sama sekali. Menurut Al-Syibli seseorang tidak dianggap zuhud jika hal itu terjadi lantaran ia memang tidak mempunyai harta. Zuhud adalah bahwa hati tidak tersibukkan oleh sesuatu apapun kecuali Tuhan (meski disana ada banyak kekayaan). (4)Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa akan datang, dan tidak menghentikan sesuatu apapun kecuali Tuhan SWT, sehingga ia tidak terikat dengan apapun dan hati tidak menginginkan sesuatu apapun. Tingkat faqir merupakan realisasi dari upaya pensucian hati secara keseluruhan dari segala yang selain Tuhan (tathhir al-qalbi bi al-kulliyah ‘anma siwa Allah). (5) Sbar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela.Ini tahapan lebih lanjut setelah seseorang mencapai tingkat faqir. (6) Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan Tuhan. Tahap awal dari tawakkal adalah menyerahkan diri pada Tuhan laksana mayat dihadapan orang yang memandikan.. (7) Ridla, hilangnya rasa ketidak senagan dalam hati sehingga yang tersisa hanya genbira dan sukagita. Ini adalah puncak dari tawakkal.
Tahap kedua, tahap penerimaan. Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, karena bukan objek eksternal, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihad). Dalam persepektif epistemologis, pengetahuan irfani ini tidak diperoleh melalui representasi atau data-data indera apapun,bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam pembentukan gagasan umum pengetahuan ini.
Ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian pengetahuan irfani, dimana pengetahuan mistik diinterpresentasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan.
.2.5. Konsep Metode Irfani
Apabila dalam epistemologi bayani terdapat konsep lafadz dan makna, dalam irfani terdapat konsep dzahir dan bathin sebagai kerangka dasar atas pandangannya terhadap dunia (world view) dan cara memperlakukannya. Pola pikir yang pakai kalangan irfaniyun adalah berangkat dari yang bathin menuju yang dzahir, dari makna yang menuju lafadz. Bathin, bagi mereka merupakan sumber pengetahuan, karena bathin adalah hakekat, sementara dzahir teks (al-qur’an dan al-Hadist) sebagai perlindungan dan penyinar. Irfaniyyun berusaha menjadikan dzahir nash sebagai bathin.
Pola pikir seperti itu dikalangan irfaniyun telah banyak ditunjukkan al-jabiri. Al-Ghozali misalnya menegaskan bahwa makna yang dimiliki oleh al-qur’an adalah batinnya, bukan dzahirnya. Agar hakekat dapat disingkap, makna harus dijadikan asal, sedang lafadz mengikutinya. Demikian halnya al-Muhasibi, sebagaimana dikutib al-Jabiri, menjelaskan bahwa yang dzahir adalah bacaannya (tilawah) dan yang bathin adalah ta’wilnya. Ta’wil disini diartikan sebagai transportasi ungkapan dzahir ke bathin dengan berpedoman pada isyarat (petunjuk bathin). Apabila dalam ta’wil bayani memerlukan susunan bayan seperti wajh syibh (illat) ataupun adanya pertalian lafadz dan makna (qarinah lafdziyah an al-ma’nawiyyah) maka ta’wil irfani tidak memerlukan persyaratan dan perataraan. Takwil irfani tidak berpedoman padadzahir lafadz, tetapi justru mengalihkannya pada wilayah pengetahuan yang, menurut mereka, disebut dengan hakekat melalui isyarat. Dalam pola pikir seperti ini, pemahaman dihasilkan melalui al-iyan atau al- irfani, dan karenanya bersifat langsung.
Demikian, konsep dualisme dzohir dan batin dalam memahami teks tidak memiliki dimensi kemanusian. Bagi irfaniyyu, baik makna yang dzahir dan batin sama-sama berasal dari tuhan, yang dzahir adalah turunnya (tanzil) kitab dari tuhan melalui para nabinya, sedang yang batin adalah turunnya pemahaman (al-fahm) dari tuhan lewat kalbu sebagian kaum ini, dalam hal ini kaum irfaniyyun. Allah menciptakan segala sesuatu terdiri dari dzahir dan batin, termasuk menciptakan al-qur”an. Yang dzahir adalah bentuk yang dapat di indra (al-shurah al-hissiyah), sementara yang batin sesuatu yang bersifat ruhiyah. Dengan demikian firman tuhan secara batin sama dengan hukum yang terdapat pada dzahir yang terindra. Ruh(spirit) maknawi yang bersifat ketuhanan, yang hadir dalam bentuk teks yang dapat di indra inilah oleh ibn-arabi di sebut sebagai I’tibar al-bathin.








BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Epistemologi Al- Irfani yaitu pengetahuan, disini pengetahuan diperoleh melalui penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya(kasyf).
1.    Irfani berarti pengetahuan, dimana pengetahuan ini diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experiment) atas realitas spiritual keagamaan.
2.    Sumber asal irfani berasal dari sumber islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya diperoleh oleh faktor luar, yunani, kristen, hindu dan yang lainnya.
3.    Perkembangan Irfani, dibagi menjadi 5 fase:
a.    Fase pembibitan disebut irfan baru ada dalam bentuk laku zuhud (askestisme).
b.    Fase kelahiran: zuhid dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.
c.    Fase pertumbuhan: tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi moral keagamaan (akhlaq).
d.    Fase puncak: mencapai masa gemilang dan pada fase puncak ini banyak besar yang lahir dan menulis tentang irfan.
e.    Fase spesikasi: irfani terpecah dalam dua aliran yaitu, irfan sunni menurut istilah taftazani yang cendrung kepada prilaku praktis (etika), dalam bentuk tarikat-tarikat, dan irfan teoritis yang di dominasi pemikiran filsafat.
f.    Fase kemunduran: irfan tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan mengalami kemunduran.

4.    Metode irfani:
a.    Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang yang biasan disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual.
b.    Tahap kedua, tahap penerimaan. Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui
c.    Tahap ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian pengetahuan irfani, dimana pengetahuan mistik diinterpresentasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan.
5.    Dalam irfani di gunakan konsep dzahir dan batin.batin adalah hakikat dari sumber pengetahuan, sedangkan dzahir adalah teks (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai pelindungdan penyinar.

3.2    Saran
Dalam penulisan makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan sehingga masih membutuhkan pembenahan dan perbaikan. Kritik dan saran yang membangun dari pihak manapun sangat penting bagi kami, dan semoga bermanfaat bagi kami.







DAFTAR PUSTAKA

Kartanegara, Mulyadi. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogjakarta.
Khodorisoleh. 2004. Wacana Baru Fildafat Islam.Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Sumarna, Cecep. 2004. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
http://www.geocities.com/tarjikh/manhaj-tarjih/manhaj-pengembangan-pemikiran-islam.htm citarosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar